Selasa, Maret 13, 2012

Dibalik Kebijakan BBM !

Beberapa minggu yang lalu saya menghadiri sebuah seminar nasional tetntang kebijakan migas nasional yang diadakan oleh salah satu universitas di Jakarta dengan pembicara Dr Kurtubi, seorang dosen sekaligus pengamat perminyakan yang juga menjabat sebagai direktur Center for Petroleum and Energy economics Study. Dalam seminar ini saya mendapatkan sebuah pencerdasan luar biasa mengenai kondisi perminyakan Indonesia yang bisa dibilang sangat miris. Berikut sedikit ringkasan dari acara seminar tersebut.



Posisi Migas pada zaman sekarang ini sudah bisa diibaratkan sebagai makanan pokok. Kebutuhan akan makanan akan sebanding lurus dengan jumlah energy yang akan kita butuhkan untuk beraktivitas, begitupun konsumsi akan migas yang juga berbanding lurus beriringan dengan tingkat kehidupan manusia. Migas merupakan sebuah hal yang memiliki peran yang teramat sangat penting dan sensitif. Bagaimana tidak, segala sesuatu di dunia ini membutuhkan bakar bakar baik itu untuk kegiatan pabrik industri, kegiatan rumah tangga, transportasi bahkan PLN-pun memerlukan bahan bakar untuk dapat menghasilkan listriknya.


Seperti yang kita ketahui bahwa Migas merupakan sumber daya alam yang keberadaannya tidak dapat diperbaharui, artinya jika persediaan yang ada sudah habis maka kita tidak bisa memproduksinya kembali atau membutuhkan waktu pemrosesan yang sangat sangat lama. Dengan demikian maka wajarlah jika tambang migas khususnya BBM menjadi dambaan setiap negara bahkan tak jarang terjadi perebutan sengit untuk menguasai tambang penghasil minyak tersebut. Harga BBM kian hari kian melambung tinggi, berbanding terbalik dengan persediaan minyak dunia yang ada saat ini. Menurut hukum ekonomi jika permintaan terhadap suatu barang itu tinggi namun daya tawar dari barang tersebut tidak bisa mencukupi permintaan yang ada maka kenaikan harga bukanlah sesuatu yang aneh.


Indonesia merupakan negara yang sangat beruntung. Tidak ada yang menyangkal bahwa letak geografis Indonesia yang membentang luas membuat negara ini menjadi salah satu negara yang diwarisi kekayaan alam luar biasa melimpah. Indonesia sebagai negara maritime dan agraris  memiliki kandungan migas di perut bumi yang jumlahnya cukup menakjubkan. Tetapi fakta dilapangan mengatakan hal lain. Indonesia sudah tidak lagi menjadi salah satu negara OPEC dan sampai saat masih terus mengimpor minyak yang berimbas pada membengkaknya APBN. Mengapa hal ini bisa terjadi???


Seperti yang sudah saya sebutkan diatas bahwa isu BBM merupakan sebuah hal yang sangat sensitive. Setiap wacana yang berhubungan dengan hal ini pastilah menimbulkan pro kontra dikhalayak ramai yang tak jarang berujung pada sebuah aksi demonstrasi.


Dengan alasan APBN yang makin membengkak karena digunakan untuk subsidi BBM bagi rakyat, pemerintah menendang bola panas yang memiliki efek bola salju dengan mengeluarkan kebijakan menaikkan harga BBM. “ Maaf rakyat Indonesia, BBM harus naik.” Yang menjadi pertanyaan saya adalah mengapa negara kaya raya seperti Indoneisa ini harus terus menerus impor dan menaikkan harga bahan bakar?


Besaran subsidi energy (BBM dan Listrik) yang dikeluarkan pemerintah dalam lima tahun terahir lebih dari 100 triliun tiap tahunnya. Tahun 2007 subsidi yang harus dikeluarkan opemerintah mencapai 150,2 triliun, dan melonjak menjadi 275,3 triliun di tahun 2008. Dengan menaikkan kebijakan menaikkan harga BBM pada tahun 2005 memang dapat mengurangi beban subsidi pada tahun 2009 yang berkurang menjadi 138,1 triliun. Kebijakan tersebut bukan hanya berhasil menekan beban subsidi, tetap juga berhasil menekan kehidupan rakyat ke titik yang lebih rendah. Pada tahun 2011 subsidi yang dikeluarkan sebesar 237,2 triliun jauh meningkat dari tahun 2010 yang mencapai 152,7 triliun.


Jika dilihat dari kandungan migas yang ada di Bumi pertiwi ini sebenarnya kita dapat menikmati BBM dengan harga relatih rendah tetapi hal ini masih urung terjadi. Hal yang melatarbelakanginya adalah Produksi/lifting (minyak siap jual) minyak nasional yang sangat rendah yaitu hanya sebesar 905.000 bbls/hari pada 2011. Bahakan pada januari 2012 hanya sekitar 890.000 bbls/hari saja. Dibandingkan dengan kapasitas produksi tahun 2004 yang mencapai 1,4 juta bbls/hari sudah terjadi penurunan produksi yang cukup besar. Kapasitas kilang (tempat penyimpanan)  BBMpun tidak mengalami kenaikan atau stagnant pada level 1.050.000 bbls/hari selama 15 tahun terahir, sedangkan kapasitas kilang yang dibutuhkan guna memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri saat ini adalah 1,5 juta bbls/hari. Padahal secara geologis sumber daya minyak di perut bumi pertiwi masih sangat besar, sekitar 50 milyar bbls.


Kapasitas kilang BBM sebesar 1.050.000 bbls/hari dengan kemampun produksi yang hanya mencapai 890.000 bbls/hari terjasi kesenjangan sebesar 610.000 bbls/hari dari kebutuhan BBM yang mencapai 1,5 juta bbls/hari. Dengan ketidakmapuan pemerintah mengoptimalkan cadangan minyak yang ada di perut bumi, mangakibatkan Indonesia HARUS IMPOR minyak mentah dan BBM dalam jumlah besar dan terus meningkat. Dengan harga minyak dunia yang semakin bergerak naik serta subsidi BBM yang terus mengalami peningkatan mengurangi kemampuan pemerintah dalam membangun infrastruktur pembangunan.


Penyebab rendahnya produksi minyak dalam negeri sebenarnya diakobatkan oleh anjloknya investasi eksplorasi (pemboran eksplorasi di blok baru) menyebabkan sulitnya menemukan cadangan/lapangan minyak baru, sehingga produksi hanya mengandalkan pada 2 lapangan yang sudah tua. Selain itu kondisi investasi ektor hulu migas di Indonesia termasuk salah satu yang terburuk di dunia (menurut global petroleum survey 2011), bahkan untuk kawasan oceania, system investasi migas Indonesia adalah yang paling buruk. Padahal sumber daya minyak yang ada relative masih sangat besar, sekitar 50 miliar bbls. Dengan harga minyak dunia yang relative tinggi, apabila potensi minyak dalam negeri itu dapat dioptimalkan maka akan menjadi lumbung pendapatan bagi negara ini.


Masalah inevestasi yang buruk tidak lepas dari kebijakan pemerintah yang terlalu berbelit menyababkan investor berfikir lebih dari sekali untuk menanamkan modalnya di sektor ini.Sebagai contoh adalah sumber daya potensial di daerah selat Makassar sangat besar.Di bawah hukum lama (no 8/1971 pertamina), banyak perusahaan minyak internasional menyadari keuntungan yang jika bekerja di daerah ini.Tapi sekarang di bawah hukum baru ( UU no 22/2001 tentang minyak dan gas), pengeboran exploraty menurun tajam di sana. Rumitnya birokrasi dan prosedur baik pusat maupun daerah. Invesrors minyak harus membayar berbagai jenis pajak selama tahap eksplorasi, sebagian karena tumpang tindi yurisdiksi.Sebenarnya UU ini (Nomor 22/2011) sedang diubah dengan DPR, diskusi yang ngalor ngidul dan tak jua menemukan ujung dari UU hukum yang baru telah membuat ketidakpastian dalam melakukan  di Indonesia.


Ditengah-tengah keraguan pemerintah karena absennya konsep kebijakan yang tepat dan rasional dan sejalan dengan konstitusi, subsidi BBM terus menggerus APBN ditengah ketidakmampuan untuk membangun infrastuktur ekonomiyang memadai. Yang muncul adalah wacana mengenai rencana pembatasan BBM bersubdi dengan berbagai skenario. Menurut saya rencana pengalihan BBM jenis premium ke pertamax bukanlah solusi mengatasi masalah perminyakan di Indonesia. Pemerintah seharusny mengedepankan dan fokus terhadap kebijakan pengalihan BBM ke Non BBM (Gas dan eneri terbarukan) dengan membangun berbagai infrastruktur pendukungnya. Bukannya mengarahkan pindah dari jenis BBM satu ke jenis BBM yang lain.


Lalu, apakah APBN sudah benar-benar tidak kuat menanggung subsidi BBM?


Sebenarnya Indonesia memiliki beberapa celah untuk meningkatkan pemasukan APBN, salah satunya dengan jalan menaikkan penerimaan dari sektor migas. Menaikkan harga jual LNG tangguh ke Cina yang harganya jauh lebih murah dibanding dengan harga pasaran, meningkatkan lifting minyak nasional, mengefisiensikan cost recovery. Pemerintah juga hendaknya segera merevisi UU migas no 22/2001 yang mengakibatkan para investor enggan berinvestasi.


Dari sisi pengeluaran APBN perlu adanya upaya efesiensi pengeluaran APBN, khususnya menghilangkan berbagai praktek KKN di kementrian dan instansi pemerintah lain. Perhitungan besaran subsidi BBM perlu dikoreksi. Perhitungan yang mengacu kepada harga BBM di pasar internasional tidak tepat karena harga pasar BBM dunia berbeda dengan harga BBM produksi dalam negeri, sehingga ketika terjadi perhitungan maka angka yang akan muncul akan lebih sangat besar. Sebaiknya kembali ke jalan/perhitungan yang benar yaitu melalui acuan biaya poko BBM.


Salah satu opsi kebijakan pemerintah yang pernah diwacanakan adalah pembatasan/penjatahan BBM. Opsi ini selalu muncul setiap tahun karena adnaya kuota jumlah BBM bersubsidi yang dianggarkan APBN tiap tahunnya. Berbagai skenario pembatasan muncul untuk melarang kendaraan kelompok tertentu membeli BBM bersubsidi : Sepeda motor, diatas 2500 cc, kendaraan diatas tahun 2005, terakhir kendaraan plat hitam di jawa bali dan daerah lain, dan berbagai kebijakan lain.


Setiap tahun jumlah kuota selalu dilanggar/dilampaui karena jumlah kuota yang tidak realistis dan rencana pembatasan yang tidak kunjung dieksekusi karena substansi kebijakan yang salah. Faktanya, meskipun kuota pada akhirnya selalu dilanggar dengan menaikkan kuota di APBNP, ternyata aman – aman saja, tidak ada sanksi yang dikenakan kepada siapapun.


Kebijakan pemerintah yang awalnya akan melakuakn pembatasan BBM pada hakekatnya telah menaikkan harga BBM secara terselubung sebesar 100% karena masyarakat dipaksa pindah dari premium ke pertamax yang harganya 2 kali lipat.


Lalu bagaimana Kebijakan BBM yang komprehensif dan terpadu?


Masalah subsidi BBM bukanlah persoalan yang berdiri sendiri, melainkan secara langsung terkait dengan kebijakan pengelolaan perminyakan dan kebijakan energy nasional. Selain juga terkait erat dengan kebijakan transportasi dan industry nasional. Kaitan dengan kebijakan pengelolaan migas adalah pemerintah sampai saat ini belum bisa mengoptimalkan kekayaan migas Indonesia, milyaran bbls minyak Indonesia masih belum tersentuh. Berdasarkan kontrak (PSC/KKS) kontraktor minyak diwajibkan untuk menyerahkan sebagaian dari produksinya untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri dengan harga sangat murah ( sekitar 20% dari harga crude export), ini menjamin bahwa harga biaya produksi BBM relative lebih murah !


Kebijakan BBM juga berkaitan dengan kebijakan energy nasional. Kebijakan energi yang baku dalam mengantisipasi cadangan dan produksi minyak yang semakin menipis dengan harga minyak dunia yang semakin merangkak naik adalah dengan program diversifikasi, mengalihkan pemakaian minyak ke non-minyak.


Di dalam amanat perpres no 5 tahun 2006 mengatakan bahwa peran minyak dalam energy mix nasional harus dikurangi secara drastic, dari sekitar 52% pada tahun 2005 menjadi sekitar 20% saja pada tahun 2025. Hal ini harus fokus dilaksanakan. Pemerintah harus membangun koridor-koridor pembangunan yang sejalan guna mencapai tujuan tersebut. Salah satunya adalah dengan mulai mengurangi proporsi minyak dan digantikan dengan gas, geothermal, biofuel, renewale enrgy, CTL, dll. Tentu saja pemerintah harus membangun infrastruktur yang memadai gunamemperlancar proses konversi energi tersebut.


Di Indonesia, cadangan gas bumi jauh lebih besar besar dari minyak. Pemerintah seharusnya focus mengoptimalkan hal trsebut. Gas/BBG merupakan alternative yang paling tepat untuk mengurangi peran minyak di sektor transportasi. Selain dari harga gas yang relative lebih murah dari BBM, BBG juga memiliki hasil pembakaran yang lebih bersih. Sudah terbukti, gas/LPG mampu menggantikan peran minyak tanah dan dapat menghemat subsidi BBM dalam jumlah yang cukup signifikan. Tantangan yang timbul sekarang adalah bagaimana pemerintah menyediakan infrastruktur yang mendukung optimalisasi pemakaian BBG ini khususnya dalam sektor transportasi.


Jadi, kesimpulan dari pembahasan diatas ialah kemampuan APBN untuk membangun infrastruktu sangatlah terbatas karena rendahnya produksi, tidak efisiensinya pengelolaan cost recovery dan tingginya beban subsidi BBM. Untuk meningktakan kemampuan negara membangun infrastruktur maka harus dilakukan efisiensi APBN dari berbagai sektor, berantas praktek KKN, meningkatkan pemasukan negara dengan jalan optimalisasi sektor migas, melakukan efisiensi dan efektivitas dalam sektor migas, tingkatkan lifting minyak nasional sesuai dengan sasaran APBN , lakukan redifinisi perhitungan subsidi BBM. Pemerintah juga harus segera mempersiapkan infrastruktur untuk mendorong konversi energy dari BBM ke Non-BBM.


Menaikkan harga BBM bersubsidi dengan penjelasan yang jujur transparan dan denngan resiko seminimal mungkin bisa ditoleran dengan catatan harus ada perubahan dan perbaikan dalam pembangunan inrastruktur.

Jakarta, 11 Maret 2012
HH
21.15 WIB

Tidak ada komentar:

Posting Komentar