Senin, April 23, 2012

RUU PT, Sebuah Bencana Bagi Dunia Pendidikan !

Dari sisi filosofi dan landasan pendidikan, Prof.Soedijarto memaparkan bahwa RUU-PT merupakan bentuk baru dari Undang-Undang BHP yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Maret 2010 silam. Prof. Soedijarto menyatakan bahwa RUU-PT bertentangan dengan filosofi pendidikan Indonesia yang tertuang pada Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia pasal 31 dimana disebutkan bahwa pendidikan adalah HAK setiap warga negara Indonesia, dan pemerintah memiliki KEWAJIBAN untuk menjamin terpenuhinya hak tersebut. Dengan hadirnya RUU-PT, pemerintah seakan-akan ingin melepaskan kewajibannya untuk menjamin hak setiap warga negaranya untuk memperoleh pendidikan. Padahal, menurut Guru Besar UNJ yang pernah menjabat sebagai anggota MPR RI pada tahun 1999-2004 ini, Indonesia adalah Welfare State (Negara Kesejahteraan) dimana hak warga negara dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan memperoleh pertahanan merupakan prioritas negara.



Senin, 2 April 2012, bertempat di Aula Perpustakaan UNJ, Departemen Pendidikan BEM UNJ mengadakan diskusi publik mengenai Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang tinggal menghitung hari pengesahannya. Diskusi publik yang dihadiri oleh 164 peserta dan juga dihadiri oleh wartawan dari Koran Tempo ini menghadirkan tiga orang pembicara yang berkompeten di bidangnya masing-masing, yakni Prof. Soedijarto (Guru Besar UNJ), Ibu Hartini Nara (Dosen Fakultas Ilmu Pendidikan UNJ), dan Fajri Nursyamsi, SH (Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan).


Dari sisi filosofi dan landasan pendidikan, Prof.Soedijarto memaparkan bahwa RUU-PT merupakan bentuk baru dari Undang-Undang BHP yang telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Maret 2010 silam. Prof. Soedijarto menyatakan bahwa RUU-PT bertentangan dengan filosofi pendidikan Indonesia yang tertuang pada Undang-Undang Dasar Negera Republik Indonesia pasal 31 dimana disebutkan bahwa pendidikan adalah HAK setiap warga negara Indonesia, dan pemerintah memiliki KEWAJIBAN untuk menjamin terpenuhinya hak tersebut. Dengan hadirnya RUU-PT, pemerintah seakan-akan ingin melepaskan kewajibannya untuk menjamin hak setiap warga negaranya untuk memperoleh pendidikan. Padahal, menurut Guru Besar UNJ yang pernah menjabat sebagai anggota MPR RI pada tahun 1999-2004 ini, Indonesia adalah Welfare State (Negara Kesejahteraan) dimana hak warga negara dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan memperoleh pertahanan merupakan prioritas negara.

Beliau juga memaparkan, bahwasanya pembagian status pengelolaan Pendidikan Tinggi menjadi otonom, semi-otonom, dan otonom terbatas sejatinya harus dimaknai sebagai kebebasan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan kurikulum yang sesuai dengan kultur dan budaya dimana kampus tersebut berada, bukan otonomi dalam hal pendanaan. Karena, lagi-lagi pemerintah tidak dapat begitu saja melepaskan tanggung jawabnya dalam menjamin pendidikan untuk setiap warganya. Otonomi seharusnya diartikan sebagai kebebasan bagi kampus untuk mengembangkan penelitian yang saat ini masih sangat minim. Menurutnya, di negara kita ini penelitian masih belum memperoleh dukungan dari pemerintah. Laboratorium-laboratorium di kampus kita sendiri pun masih banyak yang sudah tidak layak pakai dan ketinggalan jaman.

Pada diskusi publik kali ini, Prof. Soedijarto memberikan salinan dari makalah yang beliau tulis terkait RUU Pendidikan Tinggi yang diserahkan kepada panitia untuk diperbanyak kepada peserta diskusi. Pesan Prof. Soedijarto kepada para mahasiswa yang hadir adalah perbanyak membaca dan pahami problematika yang terjadi di bangsa kita, karena mahasiswa adalah aktor perubahan dan parameter sosial bangsa Indonesia.

Pembicara kedua adalah Fajri Nursyamsi, SH , seorang aktivis dan peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan yang juga tergabung dalam Komisi Nasional Pendidikan Indonesia. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini memberikan pemaparan mengenai Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi dilihat dari aspek hukum dan konstitusi. Beliau memaparkan 3 poin yang menjadi permasalahan RUU-PT, yakni ditinjau dari aspek formal pembentukan Undang-Undang, mitos kekosongan hukum, dan substansi pengaturan.  Ditinjau dari aspek formal pembentukan Undang-Undang yang diatur pada Undang-Undang no.12 tahun 2011 pasal 10 ayat (1)  tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi tidak memenuhi empat dari lima syarat yang ada, antara lain pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, perintah suatu Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang, pengesahan perjanjian internasional tertentu, tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi, dan pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat.

Beliau menjelaskan bahwa pada UUD 1945 yang tercantum pada pasal 31 ayat 3, pemerintah hanya mengusahakan SATU sistem pendidikan nasional yang kini telah kita kenal sebagai UU Sistem Pendidikan Nasional no.20 tahun 2003, sehingga RUU Pendidikan Tinggi tidak lagi dibutuhkan. Pada poin kedua mengenai perintah Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang terdapat pada pasal 24 ayat 3 yang menyebutkan bahwa ketentuan pengaturan Pendidikan Tinggi diatur lebih lanjut pada PERATURAN PEMERINTAH bukan UNDANG-UNDANG. Satu-satunya pasal pada UU Sisdiknas yang memerintahkan Undang-Undang untuk diatur dengan Undang-Undang adalah UU no. 53 ayat (4) mengenai Badan Hukum Pendidikan. Undang-Undang BHP sendiri pun telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada tanggal 31 Maret 2010, Rancangan UU Pendidikan TInggi pun tertolak. Pada poin ketiga pun dijelaskan bahwa tidak ada satu pun perjanjian internasional tertentu yang harus diratifikasi menjadi Undang-Undang Pendidikan Tinggi. Bahkan menurut Kovenan Internasional mengenai Hak Ekonomi, Sosial, dan  Budaya Pasal 13 , 2.c yang berbunyi ”Pendidikan Tinggi juga harus tersedia bagi semua orang secara merata atas dasar kemampuan, dengan segala cara yang layak, khususnya melalui pengadaan pendidikan CUMA-CUMA secara bertahap” jelas tertulis bahwa pendidikan tinggi harus tersedia bagi semua orang, termasuk kalangan masyarakat miskin yang semestinya memperoleh jatah untuk mengecap pendidikan tinggi, bukan hanya 20% saja dari bangku yang tersedia seperti yang tertuang pada RUU Pendidikan Tinggi. Dan poin keempat mengenai tindak lanjut atas putusan Mahkamah Konstitusi jelas tidak dapat dijadikan alasan, karena Mahkamah Konstitusi tidak memberikan amanat untuk membentuk Undang-Undang Pendidikan Tinggi sebagai tindak lanjut dari pembatalan Undang-Undang no.9 tahun 2009 mengenai Badan Hukum Pendidikan.

Poin kelima mengenai pemenuhan kebutuhan hukum dalam masyarakat agaknya menjadi alasan bagi DPR-RI untuk pembentukan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang sarat atas kelemahan dari berbagai aspek ini. Yang jadi pertanyaan adalah kebutuhan masyarakat yang mana yang menjadi landasan pembentukan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi ini?

Pembahasan pun berlanjut menuju aspek kedua yang telah dipaparkan oleh Bang Fajri di awal pemaparan, yakni mengenai mitos kekosongan hukum dan kepentingan dibalik pembahasan RUU-PT. Beliau memaparkan bahwa RUU Pendidikan Tinggi yang menurut beberapa anggota komisi X DPR RI ini dibuat untuk mengisi kekosongan pada 7 Perguruan Tinggi yang berstatus BHMN pasca UU BHP dibatalkan tidak beralasan. Karena pengelolaan Pendidikan Tinggi telah diatur oleh Peraturan Pemerintah no. 66 tahun 2010. Semestinya ketujuh PT BHMN tersebut kembali ke status semula yakni Perguruan Tinggi Negeri sesuai dengan PP no.66 tahun 2010. Namun karena adanya “kepentingan” yang bermain, pembahasan RUU Pendidikan Tinggi ini pun dibuat. Bahkan isu yang bergulir, salah satu alasan dibentuknya RUU Pendidikan Tinggi ini karena tidak ada satu pun produk Undang-Undang yang dihasilkan oleh Komisi X DPR-RI sehingga para wakil rakyat kita pun melakukan inisiasi yang tidak perlu dengan membuat Rancangan Undang-Undang yang justru membuat jarak dan diskriminasi pendidikan semakin ketara di masyarakat Indonesia.

Aspek yang terakhir yang dipaparkan oleh Bang Fajri adalah RUU Pendidikan Tinggi ini adalah pengaturan berulang dari UU Sisdiknas dan UU Guru dan Dosen. Dengan sebegitu banyaknya problematika pendidikan di Indonesia, agaknya DPR-RI membuang-buang waktu dan tenaga dengan menghasilkan perangkat hukum yang dapat menyengsarakan rakyat ini. Sebagian besar muatan dari RUU Pendidikan Tinggi tersebut sudah diatur dan hanya akan menimbulkan dualisme pengaturan yang akan semakin membingungkan rakyat. Bang Fajri menegaskan bahwa apabila RUU Pendidikan Tinggi tetap disahkan, akan muncul dualisme sistem pendidikan nasional dan berpotensi untuk timbulnya UU jenjang pendidikan lainnya. Kemudian RUU Pendidikan Tinggi tidak akan menyelesaikan masalah pendidikan tinggi yang ada di Indonesia, malah berpotensi menambah masalah-masalah baru. Oleh karena itu, apabila RUU Pendidikan Tinggi ini disahkan, Komisi Nasional Pendidikan Indonesia bersama beberapa elemen masyarakat dan mahasiswa akan melakukan judicial review untuk membatalkan Undang-Undang Pendidikan Tinggi.

Pemaparan terakhir disampaikan oleh Ibu Hartini Nara, M.Si. Dosen Jurusan Pendidikan Luar Biasa Fakultas Ilmu Pendidikan mengenai Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan dampaknya bagi civitas akademika kampus. Bu Nara yang ikut turun ke jalan pada aksi tolak kenaikan BBM kemarin memaparkan beberapa dampak yang akan dirasakan oleh civitas akademika kampus apabila Rancangan Undangan-Undangan Pendidikan Tinggi ini disahkan. Dari segi akademik, mahasiswa dapat berpotensi ditelantarkan oleh kampusnya sendiri, karena kampus sibuk untuk mencari proyek untuk menutupi biaya pengelolaan kampus. Dosen sibuk mencari pemasukan sana-sini apabila kampus yang berlabel “otonom” ternyata tidak cukup mandiri untuk membiayai semua kebutuhannya, hingga ke gaji dosennya. Sehingga proses perkuliahan pun dapat terganggu dengan intensitas dosen yang terlalu sibuk dengan proyek-proyek di luar kampus. Selain itu dengan dibukanya keran kerjasama dengan penggiat industri, kampus dapat menjadi pabrik SDM yang hanya diarahkan sebagai pekerja untuk memenuhi keinginan pasar. Mahasiswa dapat berubah menjadi semakin apatis terhadap isu-isu sosial dan masyarakat yang terjadi di sekitarnya, karena hanya berorientasi untuk secepat-cepatnya menyelesaikan studi, memperoleh gelar, lalu kerja. Bu nara juga menyinggung pasal 114 mengenai diizinkannya Perguruan Tinggi Asing untuk membuka cabangnya di Indonesia. Hal ini sangat mengkhawatirkan karena kampus akan hanya dipandang sebagai tempat membeli gelar dan gengsi. Padahal sejatinya kampus adalah sebuah miniatur negara, tempat para intelektual muda berkumpul dan merumuskan rancangan  dan strategi untuk masa depan Indonesia yang lebih baik. Mahasiswa akan lupa peranannya sebagai agent of change, social control, social meter, dan iron stock.
Kampus juga berpotensi untuk mudah disusupi berbagai macam kepentingan. Contohnya dalam pemilihan Rektor, yang memiliki peran lebih adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan bukan senat mahasiswa yang terdiri dari perwakilan dosen, staf, dan mahasiswa. Sehingga untuk menjadi rektor, kedekatan dengan Menteri merupakan salah satu faktor yang menentukan. Selain itu organisasi kemahasiswaan yang juga memiliki garis kordinasi langsung dengan Menteri yang terdapat pada salah satu pasal di RUU Pendidikan Tinggi dapat berpotensi bagi organisasi mahasiswa untuk dapat diatur dibawah kendali menteri. Ruang gerak mahasiswa untuk menjadi pengkrisis kebijakan pemerintah pun semakin mudah untuk dibatasi. Bu Nara berpesan bahwa sebagai mahasiswa kita harus berperan aktif dalam mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada rakyat. Sudah semestinya mahasiswa bersatu dalam menolak Rancangan Undang-Undang Pendidikan Tinggi ini dan melepaskan barrier-barrier yang ada di lembaga masing-masing, karena musuh yang kita hadapi toh sama, yakni perangkat hukum yang berpotensi menyengsarakan rakyat.

Sesi tanya jawab berlangsung dengan lancar dan dinamis. Peserta diskusi begitu aktif bertanya kepada ketiga pemateri mengenai banyak hal mulai dari pandangan pemateri mengenai Subsidi BBM yang baiknya dialihkan saja ke subsidi pendidikan, pernyataan anggota komisi X DPR bahwa internasionalisasi pendidikan diadakan agar perguruan tinggi di Indonesia memiliki daya saing yang tinggi, dan sebagainya. Begitu antusiasnya peserta diskusi menjadi pertanda bahwa masih banyak mahasiswa yang peduli dengan nasib rakyat dan ingin berbuat untuk pendidikan yang lebih baik. Semoga dengan diselenggarakannya Diskusi Publik ini, civitas akademika di UNJ semakin peka dan memahami isu-isu pendidikan yang sedang berkembang dan sama-sama menyatukan suara, yakni : TOLAK RANCANGAN UNDANG-UNDANG PENDIDIKAN TINGGI!


*Ditulis oleh Sarah Saskia
Kepala Departemen Pendidikan BEM UNJ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar